Saturday, May 10, 2014

Jalan-Jalan ke Luar Negeri (Day 2)





Hari kedua. Hari itu, hari kedua kami berada di luar negeri. Aku terbangun dari tidurku yang pulas dengan wajah yang jauh dari kata ganteng. Sudah pukul 05.30 saat itu, tapi suasana Kuala Lumpur masih gelap. Udara yang keluar dari pendingin ruangan kala itu serasa masuk dan menembus kedalam tulangku. Segara aku beranjak dari tempat tidur dan mematikannya. Tidak lama kemudian, Muflih dan Tobo terbangun, juga dengan wajah yang jauh dari ganteng. Kuperhatikan Muflih beranjak ke kamar mandi. Tak lama berselang, dia keluar dengan wajah serta tangan yang basah. Aku menebak kalau dia baru saja berwudhu. Dia kemudian melaksanakan shalat dengan menghadap ke arah yang ditunjukkan oleh sebuah penanda di dalam kamar kami, arah kiblat tentu saja. Beberapa menit setelah Muflih selesai melaksanakan shalat, suara adzan berkumandang di kota Kuala Lumpur. Waktu shalat subuh baru saja tiba.

“Shalat apako tadi kau ner?” tanyaku pada Muflih.
“Shalat subuh.” Jawabnya polos.
“Barusan masuk waktu shalat subuh ner.  Belumpi masuk waktu subuh tadi waktumu shalat.” Kata Tobo yang dilanjutkan dengan tawa yang keras.
Aku ikut tertawa. Muflih mungkin lupa kalau zona waktu Kuala Lumpur lebih lambat dari Makassar. Ada-ada saja dia.
Setelah shalat dan sarapan, kami berkumpul di loby hotel untuk kemudian berangkat ke tempat tujuan kami hari itu dengan sebuah bus yang telah disediakan khusus oleh pihak travel. Bus dengan kapasitas 40 orang dengan corak jingga dan biru tua. Di dalamnya, telah siap seorang supir keturunan India dengan tubuh agak besar. Kak Sultan dari pihak travel memberitahu kami nama supir itu. Namanya ‘Bang Kanan’. Dialah orang yang akan membawa kami berkeliling Malaysia dan Singapura nanti. Walaupun orangnya besar dan cukup menakutkan, aku tau dia orang baik. Aku bisa tau dari caranya tersenyum padaku saat aku melangkahkan kakiku kedalam bus itu.
Ada beberapa tempat yang kami datangi pada hari pertama tour kami. Pemberhentian pertama adalah Universitas Putera Malaysia. Kampus yang luas wilayahnya mungkin lebih luas daripada kampung halamanku di Soppeng. Yang kedua adalah Istana agung Malaysia. Mungkin lebih tepatnya, halaman depan Istana Agung Malaysia. Kami hanya bisa melihat dari luar dan tidak diizinkan masuk. Tentu saja! Ini adalah Istana Agung. Hanya orang-orang penting yang bisa masuk kesana dan turis seperti kami tidak termasuk kedalam jajaran orang penting. Setelah Istana Agung, pemberhentian berikutnya adalah KBRI di Malaysia. Di dalam KBRI itu, kami bertemu dengan wakil duta besar Indonesia untuk Malaysia. Dia menjelaskan kepada kami sedikit tentang hubungan kedua Negara. Kami mendengarkan dengan seksama apa yang beliau katakan. Kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Setelah materi selesai diberikan dan setelah sesi foto-foto, kami kemudian berangkat ke tempat tujuan kami berikutnya.
Di dalam bus, aku, Muflih, dan Tobo memutuskan untuk memulai misi kami pada pemberhentian kami selanjutnya, The Twin Tower Petronas. Tempat ini adalah tempat yang sempurna untuk berfoto. Bagaimana tidak? Ini adalah ikon Kota Kuala Lumpur sekaligus Negara Malaysia yang terkenal di seluruh dunia. Ini adalah tempat yang tercatat di dalam The Guinness Book of record sebagai menara kembar tertinggi di dunia. Foto yang kami dapatkan disana pastilah sangat berharga.
Setelah sampai di Menara Kembar Petronas, kami memulai misi kami. Kami sangat bersemangat saat perencanaan. Namun tiba-tiba menjadi sedikit nervous ketika sudah saatnya memulai aksi.
“Ner, itu sana ada bule. Kau yang tanyaki nah, saya yang fotoko.” Kata Muflih sesaat sebelum kami memulai misi.
“Biar saya saja yang fotoko ner. Kaumo yang tanyaki!” Kataku karena malu.
“Kenapa tegang sekaliko semua kah?” Sahut Tobo.
“Kaumo pale yang tanyaki!” Jawabku dan Muflih bersamaan. Tobo bertingkah seolah dia berani. Tapi aku tau makhluk seperti apa dia. Dia juga pasti tidak berani sama halnya dengan kami
“Ahh, kenapa saya? Kaumo.” Kata Tobo. Dugaanku terbukti benar.
“Ahhh! Takut tongjiko pale juga.” Sahut Muflih lagi.
Pada akhirnya, aku lah yang bertugas mengambil gambar, Muflih bertugas meminta bule itu agar bersedia berfoto bersama kami, dan Tobo dengan tugas yang paling penting diantara tugas-tugas kami; menemani Muflih. Bule itu bukanlah satu-satunya orang asing yang berhasil kami ajak berfoto. Kami juga berhasil mendapatkan foto bersama seseorang bule keturunan Arab. Saat itu, kami bertukar tugas. Muflih yang mengambil gambar, aku yang meminta foto, dan Tobo masih dengan tugasnya yang paling penting; kali ini, menemaniku.
“Excuse me Sir! May we take a picture with you? Just one picture, sir.” Kataku pada target kami dengan sedikit perasaan ragu kalau struktur bahasa yang aku gunakan sudah benar atau tidak.
“yes yes.” Jawabnya datar.
Muflih pun lansung memotret kami. Aku, Tobo, dan orang keturunan Arab itu pun mengeluarkan gaya terkeren dan senyum termanis yang kami punya.
“Thank you, sir! By the way, where do you come from?” kataku coba melanjutkan percakapan.
“Thank you! Thank you!” jawabnya sebelum pergi meninggalkan kami.
Aku heran kenapa orang itu tidak menjawab pertanyaanku. Mungkinkah dia takut kami akan merampas barang-barang miliknya, makanya dia bergegas pergi? Tidak tidak! Alasan itu terdengar kejam untuk kami. Aku pun memilih menyimpulkan perginya orang itu dengan alasan kedua; dia tidak mengerti apa yang aku katakan. Tak sampai disitu, kami juga berhasil mendapatkan foto bersama orang Korea, India, Malaysia, dan orang asing lainnya.
            Setelah mendapatkan beberapa foto dari beberapa orang asing yang kami temui di sana, kami kembali ke bus dan lansung menuju ke tempat pemberhentian kami berikutnya; Sungai Wang. Itu bukanlah sebuah sungai yang dialiri dengan air serta terdapat ikan dan katak yang menjijikkan di dalamnya. Tapi itu adalah sebuah tempat untuk membeli souvenir dan barang-barang lainnya. “Sungai Wang’ hanyalah sebuah nama yang diberikan untuk tempat itu dengan filosofi bahwa wang (uang) akan selalu mengalir layaknya air disana.
Aku membeli beberapa souvenir untuk keluarga dan teman-temanku di Indonesia. Setelah itu, aku berkeliling lagi untuk mencari sebuah tas khusus untuk kekasihku. Tas itu sudah dia pesan sebelum aku berangkat. Untuk itu, aku tidak boleh pulang tanpa tas itu. Aku mengelilingi tempat itu hampir setengah jam tapi tidak satupun stand toko yang aku temui menjual tas yang aku cari. Aku mulai lelah, kakiku mulai sakit, dan wajahku mulai mengeluarkan keringat.
“ya, ayo semua kumpul di bus!” teriak kak Agung dari pihak Travel.
Pemberitahuan dari Kak Agung telah berhasil membuat suasana hatiku semakin kacau. Aku belum menemukan tas yang aku cari. Aku merasa gagal mengemban tugas dari seseorang yang sangat istimewa. Aku tau ini bukanlah sesuatu yang bagus. Dalam hati, aku menyesal untuk tidak berusaha lebih keras lagi untuknya. Tapi, sudahlah! Penyesalan memang selalu datang terlambat, yang datang duluan itu DP motor. Lagipula, masih ada hari esok. Semoga esok aku bisa menemukan tas yang aku cari di pemberhentian kami selanjutnya; negara asal pesebakbola Moh. Ridwan yang pernah bermain untuk Arema Malang, Singapura.

Sunday, March 16, 2014

Jalan-Jalan ke Luar Negeri (day 1)

-->

Hari pertama. Bersama beberapa orang yang tidak aku kenal disekitarku, aku berdiri di salah satu tempat di kawasan Bandara Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar. Hari itu cuaca dingin di Antartika, panas di Gurun Sahara, dan cerah serta tidak ada tanda-tanda akan turun hujan di sekitaran Makassar. Aku menunggu dua orang teman baikku; Tobo, pria asal Takalar yang tidak terlalu tinggi, dan Muflih, pria dari Gowa yang banyak disukai cewek-cewek karena wajahnya yang lumayan ganteng. Mereka belum datang sampai saat itu padahal kami berjanji akan berkumpul di tempat itu sebelum jam 12 siang waktu setempat. Aku mencoba menebak kenapa batang hidung mereka belum terlihat padahal jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 12.30 saat itu. Aku berpikir, apa mungkin mereka terjebak cuaca dingin yang ekstrim? Tidak tidak! Ini bukan Antartika. Atau mungkin mobil mereka tidak mampu menembus badai pasir? tidak mungkin! Ini bukan Gurun Sahara. Satu-satunya alasan yang mungkin adalah mereka terjebak macet. Aku tau karena ini Makassar.
Dalam keadaan bosan, aku mendengar suara seorang wanita memanggil namaku. “ehh nak Marwan” katanya. Aku berbalik dan melihat. Dia wanita parubaya, umur sekitaran 40 sampai 50 tahun, berpakaian rapi dengan jilbab. Aku kenal wanita itu. Dia adalah ibu dari temanku Muflih. Aku nyatakan ini sebagai suatu pertanda, pertanda bahwa Muflih sudah tiba di tempat itu. Aku menanyakan keberadaan Muflih pada ibunya.
“Dimanai Muflih bu?” kataku. Aku memilih menggunakan kata ‘bu’ sebagai panggilan daripada kata ‘tante’.
“Adaji tadi pergi sama itu temanta yang kecil yang sering datang ke rumah” katanya.
Dari dua ciri-ciri yang ibu Muflih sebutkan, terutama dengan adanya kata ‘kecil’ yang dia gunakan, aku tau kalau dia pergi bersama Tobo, temanku baikku yang lainnya. Ternyata mereka sudah tiba.
“Kesanaka pale dulu cariki bu.” Kataku pada ibu Muflih sebelum pergi mencari mereka berdua.
Tidak terlalu lama mencari, mereka berhasil aku temukan sedang duduk dan mengobrol dengan rombongan. Rombongan yang aku maksud adalah rombongan mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris dari Universitas Islam Negeri Makassar. Itu adalah universitas tempat kami kuliah beberapa tahun terakhir. Kami adalah rombongan turis yang akan melakukan tour ke dua negara tetangga; Malaysia dan Singapura. Tour yang kami lakukan ini bersifat study tour, dimana kami akan mengunjungi beberapa universitas di kedua Negara tersebut. Dan tentunya kami juga akan mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan terkenal di kedua Negara itu.
Aku, Muflih, dan Tobo punya misi tersendiri dalam tour ini. Kami bertiga ingin mendapatkan sebanyak mungkin foto bersama bule, orang India, Malaysia asli, China, arab, serta orang-orang asing lainnya yang kami temui di kedua negara tersebut. Kami juga sudah menyiapkan jersey-jersey tim sepak bola kesukaan kami untuk kami pakai saat berfoto di tempat-tempat terkenal sebut saja Menara Kembar Petronas, Patung Merlion, dan lain-lain. Muflih dengan jersey Chelsea-nya, Tobo dengan jersey Arsenal-nya, dan aku dengan jersey Mancheser United tentu saja. Misi yang aneh memang. Tapi itulah kami. Kami suka yang aneh-aneh. Bahkan wajah kami pun cukup aneh, terutama Muflih dan Tobo. Ya, aku juga.
Pukul 15.30, pihak travel meminta kami untuk masuk ke dalam bandara dan melakukan proses registrasi. Kami pun berpamitan pada sanak saudara yang mengantar kami ke bandara. Muflih berpamitan pada ibu dan ayahnya, Tobo berpamitan pada pamannya, dan aku berpamitan pada ibuku melalui SMS. Ibu dan ayahku memang mengantarku ke bandara, tapi mereka sudah pulang lebih cepat mengingat mereka akan menempuh empat jam perjalanan lagi untuk sampai di rumahku di Soppeng. Tak lupa, aku juga berpamitan pada kekasihku, juga melalui SMS. Sedih rasanya mengetahui bahwa tak ada seorangpun dari keluargaku yang menemaniku saat aku akan berangkat, tapi itu tidak menyurutkan semangatku. Aku berpikir, jika Caca Handika bisa sukses dan menjadikan penderitaannya yang masak sendiri, makan sendiri, cuci baju sendiri, dan tidur pun sendiri menjadi sebuah lagu berjudul ‘angka satu’, mungkin aku juga bisa menjadikan apa yang aku alami kedalam sebuah lagu berjudul ‘angka dua’, atau ‘angka tiga’, atau ‘angka empat’, atau lima, atau enam, dan seterusnya.
Setelah menyelesaikan beberapa proses registrasi, kami akhirnya bisa terbang dengan damai menuju Kuala Lumpur pada pukul 16.30 WITA. Aku duduk bersebelahan dengan Tobo, sedangkan Muflih duduk beberapa baris di depan kami. Kami benar-benar menikmati perjalanan, walaupun aku agak sedikit takut karena itu adalah kali pertama aku naik pesawat terbang. Untung ada Najib, lelaki dengan kulit hitam dan rambut keriting khas Ambon, yang membuat suasana kala itu menjadi menyenangkan. Dia bernyanyi layaknya orang gila di dalam pesawat itu. Aku tertawa terbahak-bahak saat pesawat tiba-tiba goyang dan dia berkata
“Aduh! Ini pilotnya pasti pilot baru. Soalnya dia bawa pesawat masih suka masuk-masuk jalanan berlubang.” Katanya.
Aku merasa sangat senang saat itu. Selain karena candaan Najib yang sangat lucu, aku merasa senang karena ternyata temanku Tobo bukanlah satu-satunya orang gila yang tersisa setelah perang dunia 2 berakhir.
            Di dalam kamar hotel setelah kami sampai di Malaysia, aku, Muflih, dan Tobo bertiga berunding tentang apakah malam itu kami akan keluar dan menikmati suasana malam kota Kuala Lumpur atau kami akan tetap berada di hotel dan beristirahat. Aku dan Tobo memilih beristirahat sementara Muflih memilih keluar.
            Satu hal yang sangat tidak menyenangkan saat berada di luar negeri adalah mahalnya biaya SMS dan telepon ke Indonesia. Aku sangat ingin mengabari keluargaku di rumah dan juga kekasihku bahwa aku sudah tiba di Malaysia dengan selamat. Tapi karena biayanya yang sangat mahal, aku memilih mengabari keluargaku saja. Mudah-mudahan kekasihku bisa mengerti dan aku yakin dia bisa.
“Bilang memangka bawa laptopmu ner.” Tobo menyela lamunanku.
“Iyo ner, menyesalka nda bawaki.” Kataku.
Benar saja, jika seandainya aku membawa laptop kala itu, paling tidak aku bisa log-in ke social media dan mengabari kekasihku tentang keadaanku. Namun sudahlah! Memang penyesalan selalu datang terlambat, yang datang duluan itu DP motor. Daripada terus menyesali sesuatu yang sudah terjadi, aku memilih untuk tidur agar esok hari aku memiliki cukup tenaga untuk menjalani tour kami.