Sunday, March 16, 2014

Jalan-Jalan ke Luar Negeri (day 1)

-->

Hari pertama. Bersama beberapa orang yang tidak aku kenal disekitarku, aku berdiri di salah satu tempat di kawasan Bandara Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar. Hari itu cuaca dingin di Antartika, panas di Gurun Sahara, dan cerah serta tidak ada tanda-tanda akan turun hujan di sekitaran Makassar. Aku menunggu dua orang teman baikku; Tobo, pria asal Takalar yang tidak terlalu tinggi, dan Muflih, pria dari Gowa yang banyak disukai cewek-cewek karena wajahnya yang lumayan ganteng. Mereka belum datang sampai saat itu padahal kami berjanji akan berkumpul di tempat itu sebelum jam 12 siang waktu setempat. Aku mencoba menebak kenapa batang hidung mereka belum terlihat padahal jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 12.30 saat itu. Aku berpikir, apa mungkin mereka terjebak cuaca dingin yang ekstrim? Tidak tidak! Ini bukan Antartika. Atau mungkin mobil mereka tidak mampu menembus badai pasir? tidak mungkin! Ini bukan Gurun Sahara. Satu-satunya alasan yang mungkin adalah mereka terjebak macet. Aku tau karena ini Makassar.
Dalam keadaan bosan, aku mendengar suara seorang wanita memanggil namaku. “ehh nak Marwan” katanya. Aku berbalik dan melihat. Dia wanita parubaya, umur sekitaran 40 sampai 50 tahun, berpakaian rapi dengan jilbab. Aku kenal wanita itu. Dia adalah ibu dari temanku Muflih. Aku nyatakan ini sebagai suatu pertanda, pertanda bahwa Muflih sudah tiba di tempat itu. Aku menanyakan keberadaan Muflih pada ibunya.
“Dimanai Muflih bu?” kataku. Aku memilih menggunakan kata ‘bu’ sebagai panggilan daripada kata ‘tante’.
“Adaji tadi pergi sama itu temanta yang kecil yang sering datang ke rumah” katanya.
Dari dua ciri-ciri yang ibu Muflih sebutkan, terutama dengan adanya kata ‘kecil’ yang dia gunakan, aku tau kalau dia pergi bersama Tobo, temanku baikku yang lainnya. Ternyata mereka sudah tiba.
“Kesanaka pale dulu cariki bu.” Kataku pada ibu Muflih sebelum pergi mencari mereka berdua.
Tidak terlalu lama mencari, mereka berhasil aku temukan sedang duduk dan mengobrol dengan rombongan. Rombongan yang aku maksud adalah rombongan mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris dari Universitas Islam Negeri Makassar. Itu adalah universitas tempat kami kuliah beberapa tahun terakhir. Kami adalah rombongan turis yang akan melakukan tour ke dua negara tetangga; Malaysia dan Singapura. Tour yang kami lakukan ini bersifat study tour, dimana kami akan mengunjungi beberapa universitas di kedua Negara tersebut. Dan tentunya kami juga akan mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan terkenal di kedua Negara itu.
Aku, Muflih, dan Tobo punya misi tersendiri dalam tour ini. Kami bertiga ingin mendapatkan sebanyak mungkin foto bersama bule, orang India, Malaysia asli, China, arab, serta orang-orang asing lainnya yang kami temui di kedua negara tersebut. Kami juga sudah menyiapkan jersey-jersey tim sepak bola kesukaan kami untuk kami pakai saat berfoto di tempat-tempat terkenal sebut saja Menara Kembar Petronas, Patung Merlion, dan lain-lain. Muflih dengan jersey Chelsea-nya, Tobo dengan jersey Arsenal-nya, dan aku dengan jersey Mancheser United tentu saja. Misi yang aneh memang. Tapi itulah kami. Kami suka yang aneh-aneh. Bahkan wajah kami pun cukup aneh, terutama Muflih dan Tobo. Ya, aku juga.
Pukul 15.30, pihak travel meminta kami untuk masuk ke dalam bandara dan melakukan proses registrasi. Kami pun berpamitan pada sanak saudara yang mengantar kami ke bandara. Muflih berpamitan pada ibu dan ayahnya, Tobo berpamitan pada pamannya, dan aku berpamitan pada ibuku melalui SMS. Ibu dan ayahku memang mengantarku ke bandara, tapi mereka sudah pulang lebih cepat mengingat mereka akan menempuh empat jam perjalanan lagi untuk sampai di rumahku di Soppeng. Tak lupa, aku juga berpamitan pada kekasihku, juga melalui SMS. Sedih rasanya mengetahui bahwa tak ada seorangpun dari keluargaku yang menemaniku saat aku akan berangkat, tapi itu tidak menyurutkan semangatku. Aku berpikir, jika Caca Handika bisa sukses dan menjadikan penderitaannya yang masak sendiri, makan sendiri, cuci baju sendiri, dan tidur pun sendiri menjadi sebuah lagu berjudul ‘angka satu’, mungkin aku juga bisa menjadikan apa yang aku alami kedalam sebuah lagu berjudul ‘angka dua’, atau ‘angka tiga’, atau ‘angka empat’, atau lima, atau enam, dan seterusnya.
Setelah menyelesaikan beberapa proses registrasi, kami akhirnya bisa terbang dengan damai menuju Kuala Lumpur pada pukul 16.30 WITA. Aku duduk bersebelahan dengan Tobo, sedangkan Muflih duduk beberapa baris di depan kami. Kami benar-benar menikmati perjalanan, walaupun aku agak sedikit takut karena itu adalah kali pertama aku naik pesawat terbang. Untung ada Najib, lelaki dengan kulit hitam dan rambut keriting khas Ambon, yang membuat suasana kala itu menjadi menyenangkan. Dia bernyanyi layaknya orang gila di dalam pesawat itu. Aku tertawa terbahak-bahak saat pesawat tiba-tiba goyang dan dia berkata
“Aduh! Ini pilotnya pasti pilot baru. Soalnya dia bawa pesawat masih suka masuk-masuk jalanan berlubang.” Katanya.
Aku merasa sangat senang saat itu. Selain karena candaan Najib yang sangat lucu, aku merasa senang karena ternyata temanku Tobo bukanlah satu-satunya orang gila yang tersisa setelah perang dunia 2 berakhir.
            Di dalam kamar hotel setelah kami sampai di Malaysia, aku, Muflih, dan Tobo bertiga berunding tentang apakah malam itu kami akan keluar dan menikmati suasana malam kota Kuala Lumpur atau kami akan tetap berada di hotel dan beristirahat. Aku dan Tobo memilih beristirahat sementara Muflih memilih keluar.
            Satu hal yang sangat tidak menyenangkan saat berada di luar negeri adalah mahalnya biaya SMS dan telepon ke Indonesia. Aku sangat ingin mengabari keluargaku di rumah dan juga kekasihku bahwa aku sudah tiba di Malaysia dengan selamat. Tapi karena biayanya yang sangat mahal, aku memilih mengabari keluargaku saja. Mudah-mudahan kekasihku bisa mengerti dan aku yakin dia bisa.
“Bilang memangka bawa laptopmu ner.” Tobo menyela lamunanku.
“Iyo ner, menyesalka nda bawaki.” Kataku.
Benar saja, jika seandainya aku membawa laptop kala itu, paling tidak aku bisa log-in ke social media dan mengabari kekasihku tentang keadaanku. Namun sudahlah! Memang penyesalan selalu datang terlambat, yang datang duluan itu DP motor. Daripada terus menyesali sesuatu yang sudah terjadi, aku memilih untuk tidur agar esok hari aku memiliki cukup tenaga untuk menjalani tour kami.